Oleh: Dr. KH. Ahmad Yubaidi, S.H., S.Pd., M.H.*
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 telah mengatur sedemikian rupa mengenai pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Adapun proses pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah skala besar (>5 hektar) dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut; pertama, tahapan perencanaan. Dalam tahap ini yaitu instansi yang memerlukan tanah membuat rencana pengadaan tanah yang disusun dalam bentuk dokumen perencanaan pengadaan tanah. Kedua, tahapan persiapan. Dalam tahapan ini yaitu panitia pengadaan memberitahukan rencana pembangunan kepada masyarakat yang tanahnya akan dialihfungsikan untuk kepentingan umum, konsultasi publik rencana pembangunan, persiapan penetapan lokasi pembangun, penetapan lokasi pembangunan oleh Gubernur. Ketiga, tahapan pelaksanaan. Dalam tahapan ini yaitu inventarisasi dan identifikasi, penilaian objek oleh penilai pertanahan, dan dilanjutkan musyawarah penetapan ganti kerugian. Keempat, tahapan penyerahan hasil. Dalam tahapan ini yaitu pemberian ganti kerugian kepada masyarakat yang berhak dengan dibarengi pelepasan hak.
Peran Pemuka Agama Dalam Proses Pengadaan Tanah
Dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum banyak pihak yang dilibatkan di dalamnya, di antaranya; masyarakat yang tanahnya dialihfungsikan, BPN/ATR, Gubernur, Instansi yang memerlukan tanah, penilai pertanahan, serta kepolisian. Adanya berbagai pihak yang dilibatkan di atas masih belum bisa secara penuh dapat mensukseskan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Masih banyak dijumpai dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum mendapatkan penolakan dari masyarakat. Untuk itu, penulis berpendapat bahwa terdapat pihak yang seharusnya dilibatkan dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yaitu pemuka agama, dimana pemuka agama tidak hanya dibatasi oleh seorang kyai dan ustadz saja, melainkan juga bisa dari Penyuluh Agama dari Kementerian Agama, dll.
Posisi pemuka agama dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak berpihak kepada masyarakat dan tidak berpihak ke pemerintah, atau dapat dikatakan independen, seperti penilai pertanahan. Pemuka agama diberikan tugas untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam perspektif agama bahwa pentingnya mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Selain itu, suatu kemudaratan harus terpaksa dilakukan dalam rangka mencegah kemudaratan lain yang efeknya lebih luas maka pilihan tersebut dapat dibenarkan, seperti kaidah fikih yang berbunyi “yutahammal al-dharar al-khash lidaf’i al-dharar al-‘amm (Kemudharatan yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk mencegah mudharat yang lebih umum)”. Apabila masyarakat ikhlas tanahnya dialihfungsikan untuk kepentingan umum, maka akan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah SWT, sebagaimana tergambar di dalam surah An-Nisa ayat 125 yang artinya “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan …”.
Pemberian pemahaman oleh pemuka agama dilakukan pada saat sosialisasi rencana pembangunan. Dalam kegiatan sosialisasi kepada masyarakat yang tanahnya dialihfungsikan merupakan bagian dari kunci apakah pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut berhasil atau tidak. Apabila sosialisasi hanya dilakukan dengan tidak maksimal, maka dikhawatirkan akan timbul stigma negatif dari masyarakat mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Maka, dengan memberikan sosialisasi secara utuh terkait tujuan dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum serta pemahaman keagamaan mengenai kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, masyarakat akan lebih mudah melepaskan hak atas tanahnya kepada negara untuk dialihfungsikan.
*Dr. KH. Ahmad Yubaidi, S.H., S.Pd., M.H. (Pengasuh PP Ulul Albab Balirejo dan Koordinator Pelatihan dan Pendidikan INI Kota Yogyakarta)